Letak Indonesia yang dilewati oleh garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia menjadi negara beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di Indonesia pada umumnya terjadi pada bulan Oktober – April, dan musim kemarau terjadi pada bulan April – September. Kedua musim tersebut adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat dihindari, musim hujan dengan pasokan air yang melimpah tak jarang menimbulkan beberapa bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Sedangkan untuk musim kemarau yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekeringan, kekurangan pasokan air dan kebakaran hutan.

Dampak dari pasokan air yang melimpah dan kurangnya pasokan air yang masing masing terjadi di setiap musim sebetulnya dapat diatasi dengan sendirinya apabila kondisi alam dan lingkungan dalam keadaan seimbang, daerah resapan air yang terjaga, sungai yang berfungsi sebagaimana mestinya, dan jumlah air tanah yang sesuai. Namun di era Pembangunan yang semakin massif ini hal hal tersebut semakin berkurang. Daerah resapan air merupakan elemen penting dalam menjaga siklus hidrologi. Daerah resapan air banyak berkurang seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan Pembangunan khususnya di Kawasan urban. Alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun seperti permukiman, Kawasan industri, area komersial dan perkantoran banyak terjadi.

Peraturan terkait daerah resapan air sebetulnya sudah diatur dalam peraturan masing masing daerah, seperti pada Pergub DKI Jakarta No. 9 Tahun 2022 tentang Ruang Terbuka Hijau, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/ mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Penyelenggaraan RTH menurut Pergub DKI Jakarta diatur sebesar 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Sedangkan pada Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit sebesar 30% dari luas wilayah kota.

DKI Jakarta memiliki luas wilayah sebesar 661,23 Km2 namun jumlah RTH yang dimiliki hanya sebesar 33 Km2 yang artinya Jakarta hanya memiliki 5% RTH dari luas wilayah total yang dimiliki. Angka ini sangat jauh dari target yang telah ditetapkan oleh Pergub dan Undang Undang. Dengan jumlah RTH yang sangat minim tak jarang menimbulkan berbagai masalah di setiap musimnya, pada musim hujan Jakarta menjadi langganan banjir rutin akibat bencana ini banyak menimbulkan berbagai masalah se-seperti penyakit diare, flu, DBD, dll. Selain itu Pemda juga mengalami kerugian yang tidak sedikit, banjir pada tahun 2020 menurut Institute for Development of Economic & Finance (INDEF) diestimasikan menyebabkan kerugian mencapai 10 triliun Rupiah yang diakibatkan dari kerusakan infrastruktur. Sedangkan menurut Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) potensi transaksi yang hilang akibat banjir di JaBoDeTaBek sebesar 1,2 triliun Rupiah.

Sedangkan pada musim kemarau, polusi udara sangat terasa akibat luas wilayah RTH yang kurang. Menurut IQAir, indeks kualitas udara termasuk pada golongan “Tidak Sehat”. Menurut paparan Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan (14/08/2023) polusi udara di Jakarta disebabkan oleh transportasi (44%), industry energi (31%), manufaktur (10%), sektor perumahan (14%) dan komersial (1%). Polusi ini menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit seperti ISPA, asma, Pneumonia, dll.

Dengan berbagai macam dampak yang ditimbulkan akibat kurangnya RTH, diharapkan ketegasan dari berbagai pihak untuk bisa membantu mewujudkannya, hal ini guna menciptakan keseimbangan pada lingkungan sehingga mampu meminimalisir resiko yang ditimbulkan di setiap musimnya. Karena keseimbangan alam diperlukan untuk mewarisi generasi selanjutnya lingkungan yang sehat dan bersahabat.